VOSMedia, PALEMBANG – Akhir – akhir ini Kerajaan Sriwijaya mulai ramai dibicarakan, baik itu dari kalangan muda sampai pakar sejarah dan arkeologi, kesemuanya menyikapi terkait pernyataan budayawan Ridwan Saidi tentang Kerajaan Sriwijaya Pada masa lalu.
Apabila ditarik kembali, awal adanya pernyataan bahwa Kerajaan Sriwijaya ada di Palembang berawal dari sebuah artikel yang di tulis George Coedes dan diterbitkan di Belanda pada 1918 yang kebetulan ditahun itu termasuk dalam Era Politik Etis dimana tonggak kebijakan Politik Etis tersebut terjadi pada tahun 1901.
Saudi Berlian, seorang Budayawan Sumsel memperkirakan saat Belanda menerbitkan artikel itu tidak mengubah secara besar – besaran arah politik di Indonesia dalam hal ini masyarakat Sumsel, tapi paling tidak mempengaruhi semangat juang kita, bahwa ditempat kita lahir pernah ada suatu kekuatan besar, yang kekuasaannya sampai ke Madagaskar.
“Disamping itu juga ada Flake yang menulis tentang nusantara, saya kira itu juga membuat perspektif kita tentang kebersamaan,” ungkapnya usai acara Historical Dialogue yang digagas oleh Teras Indonesia dengan tema Kemerdekaan Dan Penindasan : membaca ulang peristiwa politik 1901 – 1945, di Roca Cafe, Senin malam (26/8/19).
“Jadi itu mempunyai pengaruh terhadap persepsi kita tentang keutuhan Indonesia pada masa itu, itu kan diterbitkan Belanda saat masa perjuangan,” lanjutnya.
Saat ditanya apakah saat artikel itu dikeluarkan pada tahun 1918, merupakan bagian dari Politik Etis oleh Kolonial, Saudi yang juga Dosen Universitas Sumsel ini berpendapat bisa jadi, memang data penting itu terkadang disembunyikan tapi tetap saja muncul, itu lah berkah dari ilmu dia (George Coedes :red) saat menemukan Sriwijaya sebagai ilmuan akan halnya bakal ada yang menunggangi itu urusan kedua tapi yang kita patut hargai bahwa dia dengan upaya keilmuannya telah mengangkat Kerajaan Sriwijaya kepermukaan.
“Saya tetap menghargai dia (George Coedes :red) sebagai ilmuan dan kalau ada yang mendorongnya mengarah ke politik kebangsaan malah itu sangat positif, yang jelas intinya kita tetap bersyukur bahwa bagi saya pribadi ilmu itu seperti rejeki,” jelasnya.
Sementara itu Dedi Irwanto M Santun sebagai akademis dan kandidat doktor ilmu sejarah menilai tahun 1918 sudah masuk dalam era Politik Etis, namun pada masa itu dimana diterbitkanya artikel tentang Kerajaan Sriwijaya lebih kepada pergantian kebijakan dimasa itu, jadi setiap kebijakan kolonial berawal memang dari Eropa dan diterapkan di Hindia Belanda ini hanya dampak dari munculnya kebijakan – kebijakan politik kolonial yang kemudian memicu kesadaran yang kita sebut sekarang dengan nama Nasionalisme.
“Nasionalisme itu bagaimana memerdekakan diri, seperti yang saya sebut memerdekakan diri itu dalam konsep menjadi Indonesia atau mengindonesiakan Indonesia dimasa itu,” terangnya.
Jadi kalau mengkaitkan dengan pernyataan budayawan Ridwan Saidi yang baru saja viral akhir – akhir ini, dirinya sedikit mengkritisi karena Ridwan Saidi lebih senang sejarah itu dengan mengkoparatifkan apa yang disebut dalam sejarah itu nama atau toponim, misalnya dia (Ridwan :red) menyebutkan bahwa Sriwijaya itu fiktif karena dia melihat itu sebagai toponim bukan berdasarkan pada bukti sejarah dan ketika George Coedes meneliti mengenai tentang Sriwijaya itu ada di Palembang dia memang meneliti tentang Sriwijaya pertama berdasar pada bukti Prasasti Kota Kapur.
“Sebenarnya penemuan itu, bukan bagian dari Politik Etis, itu lebih kepada penemuan arkeologi dan itu bukti sejarah sedangkan pak Ridwan lebih banyak berbicara mengenai toponim,” terangnya.
Saat Artikel itu dikeluarkan oleh Belanda, dikatakan Dedi sebenarnya tidak terlalu banyak tanggapan dimasa itu, tanggapan muncul ketika mulai munculnya penulisan sejarah nasional terutama ketika Muhammad Yamin bilang bahwa Sriwijaya adalah tonggak politik atau tonggak munculnya kerajaan atau yang disebut dengan Nasionalisme atau kebangsaandi Nusantara.
“Setelah itu mulai muncul tulisan Selamet Mulyono, kemudian penulis barat seperti Wolters dan sebagainya. Ini yang menyebabkan Sriwijaya itu naik, lebih tepatnya pasca kolonial bukan dimasa kolonial,”tutupnya.(fly)