VOSMedia, PALEMBANG – Pertama yang perlu diluruskan bahwa It Shing itu adalah seorang biksu yang mau belajar ke Nalanda, singgah di Sriwijaya untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta setalah itu It Shing pergi ke Nalanda, sebelumnya mampir ke Checa atau kedah mungkin untuk menambah perbekalan baru kemudian meneruskan perjalanan ke Nalanda.
Hal itu disampaikan oleh Arkeolog Senior Bambang Budi Utomo, saat ditanya tentang kesimpang siuran dari Kedatuan Sriwijaya yang akhir – akhir ini di perbincangkan.
“Jadi disini yang saya mau luruskan itshing itu bukan utusan kaisar untuk mencari Sriwijaya, itu yang harus diketahui masyarakat,” jelasnya, di Kenanga Cafe Palembang, Sabtu(31/8/19).
Lebih lanjut Bambang mengatakan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Maharaja Sriwijaya oleh Datuk sriwijaya, itu bukan prasasti penetapan satu desa menjadi Sima (atau prasasti bebas pajak), penetapan prasasti sebuah desa menjadi bebas pajak itu sampai saat ini hanya ada di Jawa, tidak ada di Sumatera.
Prasasti-prasasti Sriwijaya kebanyakan prasasti persumpahan, jadi siapa yang tidak berbakti kepada maharaja Sriwijaya maka mereka akan kena kutuk.
Identifikasi ketiga prasasti itu jelas Bambang, Pertama prasasti Kedukan Bukit tentang pembangunan perkampungan Sriwijaya, Kedua prasasti Talang Tuwo adalah pembangunan Taman Srikesetra oleh Dapuntha Hyang, yang Ketiga adalah prasasti persumpahan Telaga Batu yang isinya pejabat – pejabat kerajaan Sriwijaya yang disumpah mulai dari Putra Mahkota sampai ke tukang cuci kerajaan.
“Kemudian kalau dikatakan prasasti – prasasti itu duplikat, semestinya ada aslinya donk, tunjukkan aslinya yang mana,”tegasnya.
Sedangkan yang di maksud Bajak laut, Lanjut Bambang mungkin suku-suku laut yang kalau datuk Sriwijaya itu berkeinginan untuk perang suku – suku laut ini yang di “organaize” untuk menjadi pasukannya, suku laut ini membentuk sendiri pasukannya dan memimpin panglimanya diantara mereka sendiri, ini sebetulnya pasukan yang sukarelawan persenjataannya boleh bikin sendiri makanannya boleh bawa sendiri panglimanya boleh milih sendiri, jadi bukan datuk sriwijaya yang memilih dan datuk sriwijaya hanya meminta bantuan ke suku – suku laut itu.
Kemudian didalam berita Cina suku – suku laut ini mereka disebutkan pandai berperang baik dilaut maupun didarat hidupnya di perairan dangkal pada rumah – rumah panggung dan rumah – rumah rakit yang ditambatkan di tepian sungai.
Kemudian kerajaan Chola yang menyerang, yang ada di dalam prasasti dimungkinkan karena kenaikan pajak yang tinggi oleh Sriwijaya sehingga pedagang meminta bantuan di kerajaan Rajendra Chola, dan kemudian menyerang Sriwijaya.
Kerajaan Sriwijaya itu merupakan Kedatuan maritim yang luasnya sampai Selat Malaka dan paling hanya menguasai jalur pelayaran itu tidak sampai meluas menguasai asia, paling kalau di wilayah Malaysia hanya menguasai semenanjung, namun tidak sampai pantai timur.
Yang menjadi kesulitan sehingga bukti Sriwijaya susah ditemukan menurut Bambang, Kedatuan Sriwijaya itu sebagai negara maritim, negara dagang dimana orang-orangnya itu terlalu disibukkan dengan kemaritiman dan perdagangan, beda dengan Mataram yang bernegara agraris, dan yang kedua adalah dari bahan bakunya harus bikin batubata beda dengan Mataram yang batu seperti untuk candi banyak.
Masalah arca itu dipindahkan atau tidak, dikatakannya bahwa sampai saat ini pihaknya tidak tahu, namun untuk sementara ini kalau dilihat dari gaya seninya, bergaya seni Shailendra yang berkembang pada abad ke 8 dan 9, kemudian arca itu merupakan suatu artefak yang mudah dibawa – bawa mungkin dari tanah jawa dibawa ke Sumatera Selatan, sedangkan di Nalanda di temukan juga arca Berlanggam Jawa.
“Sriwijaya itu lebih tepat dikatakan kedatuan bukan kerajaan, ini implikasinya bahwa seorang penguasa diangkat dari penguasa – penguasa kecil dalam hal ini para datuk, dan Kedatuan Sriwijaya adalah kumpulan dari Datuk – datuk yang mempunyai daerah – daerah tertentu,” tutupnya.(fly)