VOSMedia, PALEMBANG “Menyederhanakan bahasa, mencerdaskan rakyat”, cara ini cukup sukses membawa China menjadi negara besar di tahun 60an (Revolusi Kebudayaan), dalam menyederhanakan bahasa China telah mengurangi sekian puluh ribu huruf menjadi 8.300 huruf yang dikompilasi dalam kumpulan hurup Hanzi, bayangkan untuk membaca surat kabar membutuhkan 1.200 an huruf, sedangkan buat menulis karya sastra atau penerbitan ilmiah setidaknya di butuhkan 3.000 an huruf.
Metode ini dapat menurunkan angka buta hurup di China dimana sekitar 80% di seluruh China turun hingga tersisa 5-6% dan penurunan signifikan di kalangan petani di tahun 1960 an. Bagaimana kondisi sekarang kita sama saksikan China mau menyalip Amerika yang merupakan Induk negara liberal (kapitalisme), yang tidak mungkin di raih tanpa rakyat yang cerdas.
Bagaimana dengan Indonesi?, kita harus kerja keras untuk bisa menuntaskan buta huruf yang tinggal 3,4 juta atau 2,07 persen dari jumlah penduduk. Sebagaimana rilis Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yakni pada rentang usia 15-59.
Indonesia sangat pelit memberikan anggaran pencerdasan rakyatnya, untuk meningkatkan literasi seperti anggaran Perpustakaan secara nasional hanya Rp. 500 miliar.
Anggaran ini tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain yang penduduknya lebih sedikit dari Indonesia, seperti Singapura mengalokasikan anggaran untuk perpustakan Rp 1,7 triliun rupiah, Malaysia sampai Rp 66,8 triliun.
Ada 11 provinsi memiliki angka buta huruf di atas angka nasional yaitu Papua (28,75 persen), NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen), Kalimantan Barat (4,50 peren), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jawa Timur (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jawa Tengah (2,20 persen).
11 provinsi ini mayoritas mata pencarian masih bertumpu pada pertanian, artinya bahwa Petani Indonesia masih banyak yang buta hurup dan buta angka.
Inilah salah satu penghambat Indonesia untuk melakukan perubahan di samping negara tidak secara konsisten menyelesaikan persoal dasar petani yakni persoal lahan yang makin hari makin sempit akibat tergerus pembangunan yang banyak sekali menghilangkan nyawa petani, dampak tidak konsistennya pemerintah menjalankan reforma agraria berdasarkan UUPA tahun 1960 sebagai operasional Pasal 33 UUD 1945.
Petani dihadapkan dengan rendahnya pendapatan, hanya Januari 2018 petani menikmati nilai tukar 102,92 point, paling tinggi sepanjang tahun 2018. Jika pemerintah tidak mampu menjaga harga hasil produksi petani, mungkinkah petani sanggup menyekolahkan anaknya, bisakah petani menabung. Cukup banyak pertanyaan yang di lontarkan terkait dengan kehidupan petani yang sudah di tegaskan sebagai soko guru dari revolusi bersama kaum buruh.
Hanya dengan mencerdaskan kaum tani kita akan mampu menjadi negara agraris yang kuat, berdaulat atas pangan dan energi yang di awali dengan reforma agraria sebagai basis membangun industri nasional, Selamat 58 Tahun Hari Tani Nasional.(*)
Penulis : Ahmad Rifai (Ketua Umum Serikat Tani Nasional)