VOSMedia, JAKARTA – Papua maju, beberapa kalangan menuding ada pihak tertentu menghambat agar Papua tidak maju. Presiden Jokowi menyebutnya “ada penumpang gelap di Kisruh Papua”. Kepala Staf Presiden, Muldoko, bilang ada pihak yang tidak ingin “Papua Maju”. Kisruh Papua akhir-akhir ini, akibat dari umpatan rasis yang dilontarkan oleh oknum aparat TNI dan ormas, kepada penghuni asrama Papua di Surabaya Jawa Timur.
Peristiwa tersebut berdampak pada amarah orang Papua. Seluruh wilayah administratif, secara spontan, mereka turun ke jalan. Bahkan, ada beberapa daerah yang berakhir ricuh dan adanya insiden pengibaran bendera Papua merdeka. Demo di Papua Timur dan Barat itu, juga dilakukan diluar Papua. Selain mengecam tindakan rasis, tangkap pelaku dan adili, juga menuntut agar penyelesaian Papua secara menyeluruh, dari aspek politik, ekonomi maupun budayanya
Situasi kemudian tak terkendali. Pemerintah pusat dan daerah berupaya mengendalikan situasi agar tetap kondusif. Melalui pendekatan militer tentu tidak menyelesaikan masalah, masalah tambah masalah baru. Lalu, pendekatan dialog. Jokowi hendak bertemu sejumlah tokoh Papua di Jakarta, untuk membicarakan masalah di dua Provinsi paling timur Indonesia.
Pendekatan melalui tokoh agama, adat, ormas dan lainnya oleh Presiden di Jakarta tersebut, apakah menjadi solusi untuk memulihkan situasi di Papua, ataukah justru pertemuan tersebut tidak ada efeknya sama sekali untuk menyelesaikan masalah Papua. Paling tidak, mampu meredam amarah dan sakit hati kami orang Papua yang telah dilecehkan oleh oknum di Surabaya.
Era Pasifikasi dan Pola Geraknya
Belanda berhasil mendamaikan sebagian besar orang di Papua, yang saat itu hidup dalam pertikaian, peperangan, dan mistikasi, dengan dua cara. Mendatangkan guru-guru dari kei untuk mengajar dan menyebarkan pekabaran injil di Tanah Papua. Dengan cara itulah, Belanda di Papua, berhasil memetakan sekitar 200 ribu penduduk saat itu.
Seiring perkembanganya, periode Pasifikasi tersebut menjadi jalan kolonialisme Belanda, yang pada akhirnya menancapkan birokrasinya di tujuh wilayah atau yang dikenal tujuh wilayah adat di Papua.
Pasifikasi adalah cara Belanda menjalankan penetrasi feodalisme dalam masyarakat Papua, dimana saat itu, orang Papua yang hidupnya masih menjalankan pola ekonomi subsistem dan hidup bebas diatas tanah leluhur mereka. Berbeda dengan politik etis yang diterapkan oleh Belanda di wilayah Jawa, Sumatera, Maluku dan lainnya.
Generasi Pasifikasi, kemudian tumbuh dan berkembang sejalan dengan kepemimpinan kargo yang telah ada. Selain itu, memilih jalan damai sebagai bentuk penyelesaian soal politik maupun ekonomi. Mereka kemudian menyuarakan zona damai, Papua Tanah Damai, disaat era penetrasi kapitalisme dan liberalisme global bergulir. Praktiknya, jalan berdoa, wajib sekolah dan seruan damai, menjadi solusi penyelesaian masalah. Hal mengasihi sesama menjadi cara baru dalam era serba pasar global.
Generasi Optimis
Mereka ini kaum muda mudi Papua, yang lahir diera penetrasi kapitalisme. Wataknya pun menentang segala bentuk penjajahan, baik ekonomi, politik dan budaya.
Ketika arus kapital menguat dan menghancurkan sendi-sendi hidup yang selama ini dianut (subsistem), mereka dengan lantang berhadapan, tanpa pandang bulu. Cara damai bukan pilihan mereka, tapi harus berubah, ketidakadilan harus di lawan.
Hari ini, generasi optimis tersebut, yang menjadi sentral api perubahan di Papua Timur maupun Barat. Ditambah dengan pengetahuan akan sejarah politik masa lalu dan ketidakadilan yang dilahirkan oleh kapitalisme melalui birorakrasi Indonesia, benih perlawanan seakan tiada henti. Bahkan, mereka secara lantang menentang Indonesia sebagai kolonial di Papua.
Generasi perubahan Papua ini juga menjadi momok bagi negara dalam hal pengangguran akibat lapangan kerja yang terbatas, hidup diera persaingan dan kompetisi, era serba liberal dan menghadapi kenyataan akan globalisasi yang kian menggurita. Seakan, tak ada pilihan lain, selain melawan hingga titik darah penghabisan
Papua Maju
Kemajuan Papua tanpa ada generasi Pasifikasi ataupun generasi optimis, Papua tetap kena imbas dari kemajuan dunia ini. Sebab, negri itu bukan di lubang goa atau terpisah dari planet bumi. Kemajuan tetap maju seiring perkembangan masyarakat di seluruh dunia. Terima atau tidak terima, tetap kena imbas dari peradaban yang kian maju dan modern
Menjadi masalah hari ini adalah, generasi Pasifikasi yang mengedepankan agama dan pendidikan sebagai jalan perlawanan sekaligus cara mendamaikan orang Papua saat itu, tercermin dalam bentuk produk otsus Papua. Dimana desain dan konsep otsus merupakan produk akademisi, mereka yang lahir dan besar diera pasifikasi tersebut, merancang dan memperjuangkan otsus sebagai solusi mengatasi problem Papua. Hingga sekarang, walaupun otsus telah bergulir hingga dua puluh tahun, pemekaran wilayah hingga puluhan daerah administratif, lebih banyak dari Belanda dulu hanya terbatas di tujuh wilayah, toh, masih ada darah dan air mata di bumi Cenderawasih
Elit baru yang lahir diera generasi optimis, yang kini tersebar dimana mana, tapi ruang-ruang jabatan publik, masih dipenuhi oleh generasi pasifikasi. Bahkan kebijakan soal Papua masih berkutat pada generasi sisa-sisa didikan Belanda, sehingga kaum muda mudi ini lebih banyak terlibat dalam kompetisi terbuka. Bersaing dengan apapun yang dihadapi mereka sesuai realitas. Mereka menjadi corong dari memoria passionis, sekaligus motor penggerak kesadaran masyarakat, disaat ketidakadilan makin tak terelakan.
Untuk itulah, kedepan, keterlibatan dalam memajukan Papua, ada di pundak kaum muda mudi. Mereka yang telah ada disaat Indonesia sudah dikenalkan sebagai negaranya. Cinta tanah air, berbudi pekerti, tenggang rasa, tolong menolong, gotong royong, berperikemanusiaan yang tinggi. Itulah yang menghiasi kepala mereka. Disaat yang sama, memori masa lalu, dampak kekejaman militer Orde Baru dan operasi militer yang mengesampingkan kemanusiaan dan mengutamakan keutuhan wilayah, menanamkan ingatan tersebut dibenak generasi optimis saat ini.
Papua maju seharusnya dibarengi dengan mentalitas dan perilaku yang mampu bertarung, agar mampu berkompetisi diera serba penjajahan global. Memajukan Papua juga tidak harus menjalankan pola subsidi sebagaimana otsus saat ini. Sebab, subsidi sama halnya dengan memanjakan orang yang sakit, lemah, dan tak berdaya. Sehingga subsidi diberikan tanpa upaya memajukan Papua, apalagi berharap PAD daerah bisa dikelola secara mandiri, sama sekali tidak ada di kamus subsidi atau otsus saat ini.
Memajukan Papua dengan mengubur benih-benih yang masih menganggap orang Papua masih lemah, sakit dan tak berdaya. Agar kita mampu bersaing di era dimana dunia kian terhubung baik laut, darat dan udara, sehingga tak ketinggalan dalam mengangkat dan memajukan harkat dan martabat di sektor ekonomi, politik dan budaya.(*)